Tak bisa dipungkiri, para leluhur masyarakat Sunda memiliki pandangan hidup jauh ke depan dan kearifan dalam mengatur tata kehidupan sehingga bisa harmonis dan selaras dengan alam. Salah satu bentuk kebijaksanaan itu adalah dengan adanya berbagai pantangan atau yang dikenal dengan konsep pamali untuk mengatur tata laku setiap individu agar tidak sewenang-wenang dalam bertindak--terutama ketika berhadapan dengan alam.
Walaupun mulai terkikis oleh zaman yang semakin modern, namun hingga sekarang kearifan lokal ini masih dipegang oleh sebagian masyarakat Sunda. Terutama oleh mereka yang menjunjung tinggi warisan leluhur dan teguh menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini antara lain bisa ditemui di Kampung Ciomas, sebuah kampung di kaki Gunung Sawal, Ciamis, Jawa Barat.
Kampung Ciomas merupakan gambaran khas kehidupan masyarakat etnis Sunda. Penduduk kampung tersebut menggantungkan hidupnya pada kemurahan alam. Ketaatan dan kearifan terhadap alamlah yang membuat kampung ini hidup harmonis dan damai.
Hutan Karomah
Salah satu bentuk kearifan warga Ciomas adalah dalam memperlakukan Hutan Karomah yang berada tepat di tengah kampung. Warga setempat menganggap hutan seluas 35 hektare ini sebagai tempat keramat. Oleh karena itu, warga dilarang berbuat sewenang-wenang ketika memasuki hutan ini. Apalagi sampai merusak lingkungan hutan.
Di Hutan Karomah terdapat makam Kiai Haji Penghulu Gusti, yang dipercaya sebagai penyebar agama Islam pertama di Ciomas. Beliau jugalah yang meminta warga setempat untuk selalu menjaga hutan atau kelestarian alam.
Warga Ciomas dilarang menebang pohon, mengambil kayu atau menjual kayu dari hutan. Bila pantangan itu dilanggar, dipercaya bakal mendatangkan musibah. Meskipun demikian, bukan berarti pohon di hutan ini sama sekali tidak bisa dimanfaatkan. Pada momen-momen tertentu, masyarakat bisa memanfaatkan kayu dari Hutan Karomah, namun tentu saja dengan persyaratan yang ketat dan berdasarkan izin dari para tetua.
Upacara Nyepuh
Salah satunya ketika warga Ciomas hendak mengadakan upacara Nyepuh. Untuk menggelar upacara dalam rangka menyambut bulan suci Ramadan ini, sekelompok pemuda diutus untuk mengambil kayu atau mulung pangpung dalam bahasa Sundanya. Upacara ini merupakan sebuah ritual yang berarti upacara pendewasaan untuk menuju lebih baik yang memang menuntut penggunaan kayu dari hutan.
Saat hendak mengambil kayu, para pemuda tersebut harus didampingi kuncen hutan. Sang juru kuncilah yang kemudian membuka hutan agar terbuka bagi para pencari kayu. Meskipun izin mengambil kayu telah diberikan, namun bukan berarti bisa mengambil kayu sekehendak hati. Para pencari kayu dilarang keras menebang pohon. Hanya kayu atau ranting yang telah jatuh dari pohonnya dan tergeletak di tanah yang boleh dibawa.
Selain itu, mereka pun dilarang mengambil kayu secara berlebihan. Setelah mengambil secukupnya, para pencari kayu harus menunjukkannya untuk diperiksa tetua. Kalau ada rayap atau sudah rapuh, kayu tersebut tak boleh dibawa pulang dan harus dikembalikan ke dalam hutan. Usai proses itu bukan berarti bisa melenggang begitu saja, warga pun harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari penguasa hutan. Dengan diiringi lantunan lagu bernuansa islami, mereka berdoa di sekitar makam agar kayu-kayu yang digunakan bermanfaat.
Upacara ini ditandai dengan kehadiran tiga nasi tumpeng sebagai tanda kebersamaan dan gotong royong. Sebelumnya, bahan-bahan yang akan dimasak diperiksa para tetua kampung. Bila ada bahan yang diyakini tidak halal atau telah kedaluwarsa, maka harus disingkirkan. Para tetua juga mengawasi dapur yang akan digunakan untuk memasak.
Persyaratan yang ketat dalam melakukan upacara Nyepuh ini merupakan bentuk menjaga tingkah laku sebelum menjalankan ibadah saum di bulan suci Ramadan. Melalui ritual ini, warga Ciomas diharapkan memahami makna menyucikan diri untuk menjadi manusia yang fitri. Puncak upacara Nyepuh berlangsung di dalam Hutan Karomah. Warga berpakaian putih-putih sebagai tanda menyucikan diri dan harus berjalan sejauh tiga kilometer. Salawat dan salam dilantunkan sepanjang jalan masuk ke hutan.
Bagi masyarakat Ciomas, pertemuan di depan makam ibarat merupakan tempat menumpahkan segala keluh kesah. Di tempat ini warga bertemu dengan pejabat dan pemimpin desa, sehingga dialog di antara mereka pun berlangsung. Berbagai masalah kehidupan tak luput dibicarakan. Setelah itu, warga bersama-sama menyantap nasi tumpeng. Tak ada batasan antara si miskin dan si kaya, antara rakyat dan pejabat.
----------
Baca info wisatajabar.com lainnya di GOOGLE NEWS