Suku Sunda secara tradisional adalah masyarakat yang terampil memanfaatkan bambu dalam kehidupannya sehari-hari. Bagi suku Sunda, bambu adalah segalanya. Kekukuhannya memberikan jaminan perlindungan yang kokoh saat dijadikan tiang pancang dan rangka rumah, dan suaranya yang renyah mampu menerjemahkan gairahnya dalam hasrat berkesenian.
Pohon bambu juga mengajarkan makna filosofis yang dalam, bahwa hidup dan kehidupan manusia haruslah bermanfaat bagi alam sekitarnya. Dalam kesederhanaannya, bambu merupakan pohon yang kuat, tapi juga lentur "menari" ketika terpaan angin menuntutnya merunduk dan meliuk.
Di tangan orang Sunda, bambu dapat direka menjadi berbagai jenis alat musik. Di antaranya angklung, rengkong, karinding, calung, kentongan, suling, toleat, dan lain-lain. Alat musik bambu yang paling terkenal dan diakui sebagai alat musik asli Indonesia adalah angklung. Tak mengherankan bila alat musik ini sering ditampilkan hingga ke mancanegara.
Jenis Angklung
Beberapa jenis angklung antara lain angklung buncis yang berasal dari Priangan/Bandung, angklung badud dari Priangan Timur/Ciamis, angklung bungko dari Indramayu, angklung gubrag dari Bogor, angklung ciusul dari Banten, angklung dogdog lojor dari Sukabumi, angklung badeng dari Malangbong Garut, dan angklung daeng yang identik dengan angklung nasional dan dikembangkan sejak tahun 1938.
Tidak sembarangan bambu dapat digunakan untuk membuat alat musik ini. Hanya awi wulung yang berwarna hitam dan awi temen yang berwarna putih yang dapat diambil sebagai bahan baku angklung. Angklung dan calung memiliki kemiripan. Nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) dari yang terkecil hingga yang terbesar.
Nyai Sari Pohaci
Kelahiran angklung dan calung tidak bisa dilepaskan dari asal-usul masyarakat Sunda yang sebagian besar bermata pencaharian petani. Masyarakat Sunda zaman dulu memiliki kepercayaan terhadap dewi padi, yaitu Nyai Sari Pohaci. Untuk menghormatinya, masyarakat Sunda zaman dahulu kemudian menciptakan syair dan lagu, sekaligus untuk "nyinglar" atau menolak bala agar tanaman mereka menghasilkan panen yang melimpah. Angklung dan calung dipilih sebagai alat musik untuk mengiringi alunan syair dan lagu "buhun" tersebut.
Saat ini, tradisi melantunkan lagu penghormatan pada Nyi Sri Pohaci nyaris tidak dipraktikkan lagi. Kecuali di kawasan-kawasan masyarakat suku Sunda yang masih memegang teguh tradisi leluhur. Keberadaan angklung dan calung masih tetap terjaga. Bahkan pada 2010, angklung diakui UNESCO sebagai warisan dunia dari Indonesia. Meski demikian, kita jangan terlena dengan pengakuan ini. Karena bila sewaktu-waktu kita lalai, bukan tidak mungkin karya agung leluhur Sunda ini dicuri dan diakui negara lain.
Pohon bambu juga mengajarkan makna filosofis yang dalam, bahwa hidup dan kehidupan manusia haruslah bermanfaat bagi alam sekitarnya. Dalam kesederhanaannya, bambu merupakan pohon yang kuat, tapi juga lentur "menari" ketika terpaan angin menuntutnya merunduk dan meliuk.
Di tangan orang Sunda, bambu dapat direka menjadi berbagai jenis alat musik. Di antaranya angklung, rengkong, karinding, calung, kentongan, suling, toleat, dan lain-lain. Alat musik bambu yang paling terkenal dan diakui sebagai alat musik asli Indonesia adalah angklung. Tak mengherankan bila alat musik ini sering ditampilkan hingga ke mancanegara.
Jenis Angklung
Beberapa jenis angklung antara lain angklung buncis yang berasal dari Priangan/Bandung, angklung badud dari Priangan Timur/Ciamis, angklung bungko dari Indramayu, angklung gubrag dari Bogor, angklung ciusul dari Banten, angklung dogdog lojor dari Sukabumi, angklung badeng dari Malangbong Garut, dan angklung daeng yang identik dengan angklung nasional dan dikembangkan sejak tahun 1938.
Tidak sembarangan bambu dapat digunakan untuk membuat alat musik ini. Hanya awi wulung yang berwarna hitam dan awi temen yang berwarna putih yang dapat diambil sebagai bahan baku angklung. Angklung dan calung memiliki kemiripan. Nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) dari yang terkecil hingga yang terbesar.
Nyai Sari Pohaci
Kelahiran angklung dan calung tidak bisa dilepaskan dari asal-usul masyarakat Sunda yang sebagian besar bermata pencaharian petani. Masyarakat Sunda zaman dulu memiliki kepercayaan terhadap dewi padi, yaitu Nyai Sari Pohaci. Untuk menghormatinya, masyarakat Sunda zaman dahulu kemudian menciptakan syair dan lagu, sekaligus untuk "nyinglar" atau menolak bala agar tanaman mereka menghasilkan panen yang melimpah. Angklung dan calung dipilih sebagai alat musik untuk mengiringi alunan syair dan lagu "buhun" tersebut.
Saat ini, tradisi melantunkan lagu penghormatan pada Nyi Sri Pohaci nyaris tidak dipraktikkan lagi. Kecuali di kawasan-kawasan masyarakat suku Sunda yang masih memegang teguh tradisi leluhur. Keberadaan angklung dan calung masih tetap terjaga. Bahkan pada 2010, angklung diakui UNESCO sebagai warisan dunia dari Indonesia. Meski demikian, kita jangan terlena dengan pengakuan ini. Karena bila sewaktu-waktu kita lalai, bukan tidak mungkin karya agung leluhur Sunda ini dicuri dan diakui negara lain.
----------
Baca info wisatajabar.com lainnya di GOOGLE NEWS