Bahasa Sunda dan Suasana Keakraban




Bila Anda ingin belajar bahasa Sunda, hal utama yang harus diperhatikan adalah rasa. Mengapa? Ya karena bahasa Sunda itu harus disertai rasa. Entah itu dengan melihat kondisi lingkungan/pergaulan ataupun konteks yang ada. Bila kurang tepat menerapkan akan menimbulkan gangguan situasi maupun mood yang diajak bicara. Apalagi bila berhubungan dengan undak usuk basa alias naik-turunnya penyesuaian berkomunikasi. Juga pemaknaan atas arti kata pun menentukan rasa yang didapat.

Misalnya kondisi berbicara dengan teman akrab tentunya berbeda dengan bicara dengan orang tua. Juga suasana formal dan informal. Itulah mengapa dalam konteks pembicaraan dengan bahasa Sunda ada yang menggunakan kata-kata halus, sedang/akrab, sampai kasar.

Dari bahasa halus, akrab, dan kasar
Kasus seperti ini bisa dilihat pada era kekinian dimana tak sedikit generasi muda yang bicara dengan teman akrabnya cenderung menggunakan bahasa kasar. Salahkah mereka? Bila konteksnya dari sudut tata krama memang kurang nyaman. Namun bila dari sudut suasana keakraban, itu sah-sah saja. Hanya syaratnya melihat kondisi sekitar.

Misal, si A bicara kasar sama si B (saking akrabnya), namun di antara mereka ada orang tua, tentulah hal ini tidak pas karena tidak menghargai orang tua. Apalagi bila sudah ditambah kata-kata atau ungkapan kasar, seperti "anj*ng", "gobl*g," "bebel", dan lainnya. Ingat, lingkungan kita itu bukan hanya kita dan teman kita yang ada, ada orang lain yang perlu dihormati.

"Basa mah teu meuli", itulah ungkapan di masyarakat Sunda yang menggambarkan bahwa "bahasa itu tidak beli" alias manasuka alias gimana pemakainya. Namun patut diingat ada "hade goreng ku basa", artinya "baik buruk itu oleh bahasa". Dalam artian, suasana akan terganggu oleh penggunaan bahasa. Juga kesan kepada seseorang pun akan dinilai dari penyampaian bahasa yang ia gunakan. Untuk itulah perlunya penguasaan memahami situasi alias konteks saat kita bicara.

Kembali ke unsur keakraban menyangkut bicara dalam bahasa Sunda. Akrab awalnya bisa dari tidak kenal (misal ada orang seusia), lalu sering ketemu, karena sering ketemu maka ada perpindahan tindak tutur. Dimana yang mulanya menggunakan bahasa halus, lama kelamaan jadi bahasa akrab.

Bilapun akhirnya karena saking akrabnya jadi menggunakan bahasa kasar, itu pun ada syarat dimana pihak lawan bicara harus memahami konteksnya. Bisa saja, misalnya si A biasa bahasa kasar, namun si B tak biasa menggunakan bahasa kasar karena merasa garihal (kurang enak didengar/dilihat), si B lebih nyaman menggunakan bahasa Sunda versi akrab saja. Dan itu harus dimengerti dan "dipatuhi" oleh si A, bahwa tak semua orang mau bicara bahasa Sunda kasar. Jika dipaksakan, kalau tidak ditinggalkan, ya mungkin muncul perselisihan.

Oke, biar tidak bingung kita ambil contoh bagaimana penggunaan bahasa Sunda itu bergantung konteks dan perkembangan pergaulan. Lho kok bisa? Begini, saat perkenalan bahasa Sunda yang digunakan biasanya tahap awal menggunakan bahasa halus. Kita kasih contoh berikut:

Situasai awal kenalan (bahasa halus)
Misal si A dan si B yang seumuran (remaja) baru bertemu dalam satu kosan dan saling memperkenalkan diri:
A: "Damang Kang?" (Sehat, Kang?)
B: "Saé." (Sehat)
A: "Nepangkeun, abdi A" (Kenalkan, saya A)
B: "Ooh.. nepangkeun, abdi B" (Ooh.. kenalkan, saya B)
A: "Kawit ti mana, Kang?" (Asal dari mana, Kang?)
B: "Abdi ti Tasik. Dupi Akang ti mana?" (Saya dari Tasik. Akang dari mana?)
A: "Abdi mah ti Bandung." (Saya dari Bandung)

Situasi sudah mulai akrab (bahasa loma/akrab)
Bisa beberapa hari atau beberapa minggu. Di sini rasa bahasa Sunda dalam tataran akrab.
A: "Cik nginjeum charge HP lah!" (Pinjam charger HP lah.)
B: "Cokot wé éta na colokan!" (Ambil aja itu di colokan.)
A: "Dibawa heula ku urang nya? Engké dibalikkeun!" (Dibawa dulu ya sama saya?"
B: "Sok wé kalem..." (Sok, santai aja..)

Situasi sudah sangat akrab (campuran bahasa akrab dan bahasa kasar)
Ini biasanya, selain memakai bahasa Sunda akrab juga sudah mulai keluar kata-kata kasar. Kata-kata atau ungkapan kasar tersebut bukan berarti menyinggung. Namun, lebih karena saking akrabnya sehingga si lawan bicara dianggap sudah jadi sahabat atau sangat dekat. Lawan bicara pun tidak akan merasa tersinggung.

A: "Hayu atuh anteur urang meuli mie ayam ka hareup!"
(Ayo dong antar saya beli mie aya ke depan)
B: "Ké heula atuh! Urang keur chattingan jeung gébétan. Kagok...!"
(Entar dulu dong! Saya lagi chattingan sama gebetan. Kagok...!)
A: "Ah, sia mah. Hayoh chattingan jeung gébétan. Ari beunang henteu!"
(Ah, kamu. Terus aja chatting dengan gebetan. Dapat kagak!)
B: "Ngalédék nya maneh mah. Abong geus boga kabogoh!"
(Ngeledek ya kamu. Mentang-mentang sudah punya pacar!)
A: "Ajirrrr. Manéh sirik ka urang? Geus, matakna anteur heula urang. Engké ku urang diwawuhkeun jeung babaturan urang. Geulis siah!"
(Ajirr. Kamu iri ya sama saya? Sudah, makanya antar dulu saya. Nanti saya kenalkan ke teman saya. Cantik lho!)
B: "Ah, nu bener? Serius?"
(Ah, yang bener. Serius?)
A: "Gobl*g, Manéh teu percaya ka urang? Iraha urang sok ngabohong ka maneh?"
(Gobl*k, kamu gak percaya sama saya? Kapan saya suka bohong sama kamu?
B: "Okéh ari kitu mah. Hayu dianteur ku urang ka hareup. Tapi engké wawuhkeun, nya?"
(Oke deh kalo begitu. Ayo saya antar ke depan. Tapi nanti kenalkan, ya?"


------
Kumpulan artikel Belajar Bahasa Sunda lainnya LIHAT DI SINI

----------

Baca info wisatajabar.com lainnya di GOOGLE NEWS