Gobras dan Sejarah Kerajinan Kelom Geulis Tasikmalaya




Gobras, Tasikmalaya, dikenal sebagai sentra pengrajin kelom geulis sampai sekarang. Kelom geulis merupakan salah satu hasil kerajinan berupa alas kaki wanita yang dibuat dari kayu. Kata kelom diperkirakan diambil dari bahasa Belanda klomp (Datje Rahajoekoesoemah, 1991) yang berarti kelom.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kelom merupakan kependekan dari kata kelompen yang berarti alas kaki yang dibuat dari kayu; bakiak; dan sandal (selop) dari kayu untuk wanita. Adapun kata geulis berasal dari bahasa Sunda yang artinya cantik. Jika diterjemahkan secara keseluruhan, kelom geulis berarti sandal kayu yang cantik.

Disebut "kelom geulis" karena tampilan alas kaki dari kayu tersebut tampak indah dengan cat warna warni dan ukiran motif-motif yang menarik. Konon pada masa itu, kaum wanita yang memakai alas kaki tersebut akan tampak cantik, anggun, dan mempesona.

Gamparan
Kerajinan kelom geulis muncul pada kurun waktu 1940 s.d. 1950 di wilayah Gobras, Tasikmalaya. Sebelum kurun waktu tersebut, di Gobras terdapat pengrajin kelom ‘sejenis alas kaki dari kayu yang diberi sabuk pengikat berwarna hitam pada bagian atasnya’; dan gamparan ‘alas kaki yang dibuat dari bahan kayu dengan ciri khas ada lilingga (bagian atas gamparan yang dicapit oleh ibu jari kaki dan jari kaki yang kedua)’.

Gamparan biasanya digunakan oleh kaum pria. Dengan demikian, kemampuan membuat sandal dari kayu sudah ada sebelum kelom geulis muncul. Pada kurun waktu 1940 s.d. 1950, ada seorang warga Gobras bernama Pohir, ada juga yang menyebut Ohir, bekerja sebagai buruh di sebuah tempat produksi sandal di Bandung. Suatu ketika, dia dengan teman-temannya di Gobras, yakni Suryo, Ujer, dan Acep Umar ingin membuat sandal mentah dari kayu, yang di kemudian hari disebut kelom geulis.

Kelom geulis model baru
Rencana tersebut berhasil diwujudkan oleh keempat orang itu, berupa kelom geulis mentah yang belum siap pakai karena belum ada muka atau bagian atasnya. Saat itu, mereka belum mampu membuat bagian atas kelom geulis. Mereka membawa produk tersebut ke Bandung untuk dijual dan ternyata laku. Kemudian, mereka mendapat pesanan kelom geulis mentah dari Bandung dengan model yang baru, yakni diberi hiasan ukiran.

Ide awal untuk motif ukiran pada kelom geulis terinspirasi dari lingkungan sekitar. Mereka membuat ukiran kelom geulis mentah dengan motif bunga. Hasil kreasi mereka ternyata banyak disukai konsumen. Pemasaran yang semula terbatas hanya ke Bandung, terus merambah hingga Jakarta.

Seiring dengan perjalanan waktu, jumlah para pengrajin terus bertambah. Mereka pun mampu melengkapi bagian atas kelom geulis sendiri hingga siap pakai. Kelom geulis pun begitu populer bagai pelengkap busana wanita pada masa itu dan mencapai masa kejayaannya.

Masa kejayaan kelom geulis berangsur-angsur hilang seiring dengan masuknya sandal buatan pabrik. Puncak kehancuran terjadi pada tahun 1970-an. Pada masa itu, hanya ada satu pengrajin yang tetap bertahan, yakni Husen. Usaha kerajinan kembali menggeliat pada tahun 1979.

Saat itu ada seorang warga Gobras yang berhasil menciptakan kelom dari lembaran-lembaran kayu tripleks. Produk tersebut tidak hanya digemari konsumen dalam negeri, melainkan juga dari luar negeri, seperti Belanda. Akhirnya, kerajinan kelom geulis tetap bertahan sampai sekarang.

Selain keempat orang tadi, masih ada juga sejumlah nama yang turut berjasa dalam mengembangkan kerajinan kelom geulis pada masa itu. Mereka adalah Sahrudin, Mahmudin, Mansyur, Dahyan, Endun, dan Thio Keng Siang.

Kelom geulis di Bandung
Nama yang disebutkan terakhir tidak mengembangkan kelom geulis di Tasikmalaya, melainkan melebarkannya keluar wilayah Tasikmalaya. Dikisahkan pada 1940, Thio Keng Siang pindah dari Tasikmalaya ke Jalan Pecinan Lama No. 21 Bandung dan menikah dengan wanita keturunan Cina asal Bandung. Pada 1942, dia bersama istrinya membuka usaha kecil, yakni membuat sandal kayu yang kemudian disebut kelom geulis dan menjualnya di toko miliknya, yakni Toko Kelom Geulis Keng.

Pada saat itu, semua pekerjanya adalah warga keturunan Cina. Usaha Thio Keng Siang berkembang
pesat hingga hasil produksinya menembus pasar internasional. Banyak noni Belanda dan wanita keturunan Cina yang senang memakai kelom geulis sebagai pelengkap busana mereka. Salah
satu motif yang cukup populer karena penggunanya adalah wanita keturunan Cina adalah kelom geulis motif barong atau naga. Konon perempuan yang belum memakai kelom geulis pada saat itu dipandang ketinggalan zaman.

Setelah berjalan 10 s.d. 15 tahun, usaha Thio Keng Siang semakin maju, bahkan rumah produksinya tak mampu memenuhi pesanan kelom geulis yang masuk ke tempat produksinya. Oleh karena
itu, dia perlu menambah jumlah tenaga kerja. Untuk keperluan itu, dia mengambil tenaga kerja dari Tasikmalaya yang bagus kualitas pekerjaannya. Pengrajin yang terpilih dan diminta bekerja di tokonya adalah Rahli, Udin, dan Seng Hong.

Pada perkembangan selanjutnya, Toko Kelom Geulis Keng pindah dari Jalan Pecinan Lama ke Jalan Cihampelas, dan bertahan sampai dengan sekarang. Kini, pemilik Toko Kelom Geulis Keng
sudah sampai pada generasi ketiga. Penerus toko kelom geulis tersebut juga membuka agennya di beberapa kota besar, yakni Medan, Surabaya, Menado, dan Pontianak.

Hubungan kerja dengan pengrajin kelom geulis di Tasikmalaya pun masih dipertahankan sampai sekarang. Pengrajin dari Tasikmalaya biasanya menjual kelom geulis setengah jadi yang berkualitas
bagus. Pengrajin tersebut berasal dari Gobras.

Sejumlah pengrajin dari Gobras pernah juga mencoba membuka usaha kerajinan membuat kelom geulis di luar wilayah Tasikmalaya, namun tidak pernah berhasil. Hanya Kelom Geulis Keng yang
masih bertahan di luar wilayah Tasikmalaya. Selebihnya kembali lagi melanjutkan usahanya di Gobras.

Gobras, sentra pengrajin kelom geulis
Dulu pengrajin kelom geulis hanya terkonsentrasi di Dusun Gobras (sekarang diganti Dusun Rahayu I), Desa Sukahurip, Kecamatan Tamansari, Kota Tasikmalaya. Oleh karena itu, kelom geulis sangat
identik dengan Gobras. Antar-pengrajin kelom geulis memiliki ikatan kerabat satu sama lainnya karena keturunan pengrajin terdahulu membuka sendiri usaha kerajinan membuat kelom geulis.

Perkembangan selanjutnya, para pekerja yang tidak memiliki ikatan kerabat pun banyak yang membuka sendiri usaha kerajinan membuat kelom geulis. Saat ini, pengrajin kelom geulis terdapat di dua kecamatan. Pertama, Kecamatan Tamansari yang meliputi Dusun Gobras di Desa Sukahurip, Dusun Ciledug di Desa Tamanjaya, Dusun Nyemplong di Desa Setiawargi, dan Dusun Sukamaju di Desa Mulyasari. Kedua, Kecamatan Cibeureum yang meliputi Dusun Nagarakasih di Desa Kersanagara.

Kelom geulis dilihat dari bentuk, ragam hias, warna, dan awal kemunculannnya yang dibuat sekitar tahun lima puluhan, bentuknya tidak jauh berbeda dengan sepatu wanita bertumit tinggi, dipenuhi ukiran bunga dengan warna mencolok (kontras). Awal kemunculannya adalah sekitar tahun 1930-an, saat pertama kali di Bandung diselenggarakan Jaarbeurs, yakni pasar tahunan.

Dengan bentuk seperti itu, jelas menunjukkan disain kelom geulis mengikuti bentuk alas kaki yang umum digunakan wanita Eropa, dengan warna dan ukiran sebagai kelebihan dan kekhususan dari kelom geulis. Alas kaki tersebut mendapat pujian dari orang Belanda dengan sebutan De mooi klomp yang berarti sepatu kayu yang cantik.

----------

Baca info wisatajabar.com lainnya di GOOGLE NEWS