Kabayan Diundang Makan




Beberapa hari ini, Kabayan memiliki tetangga baru di samping rumahnya. Sang tetangga rupanya berasal dari daerah sebelah timur, atau orang Sunda menyebutnya orang Jawa. Untuk menjalin silaturahmi dan mempererat keakraban, sang tetangga mengundang Kabayan untuk makan-makan di rumahnya.

Bukan main  senangnya Kabayan menerima undangan itu, karena jarang sekali ada orang yang mengundangnya, apalagi ini untuk makan pula. Terbayang sudah ia akan makan enak hari itu.

Singkat cerita, Kabayan pun telah ada di rumah tetangganya dan diterima selayaknya seorang tamu terhormat. Setelah beberapa saat berbincang-bincang, istri sang tetangga memberi tahu bahwa hidangan telah siap. Kabayan girang bukan kepalang, ia segera bangkit menuju meja makan begitu sang tuan rumah mempersilakannya.

Hidangan yang disediakan tuan rumah ternyata hanya nasi dengan sayur dan sambal. Sang tuan rumah dengan ramah mempersilakan Kabayan untuk segera menyantap makanan yang tersedia.

“Silakan, Mas Kabayan, ini sambalnya, yang ini jangan,” kata sang tuan rumah yang menyebut sayur dengan kata ‘jangan’ karena dalam bahasa Jawa sayur memang berarti ‘jangan’. Namun karena tidak mengerti bahasa Jawa, Kabayan mengira tuan rumah tidak memperbolehkannya menyantap sayur, sehingga ia pun menciduk sambal saja sebagai teman nasi.

“Ayo Mas Kabayan, jangan malu-malu, ditambah lagi nasinya. Dan ini sambalnya, yang ini jangan,” kata sang tuan rumah dengan penuh keramahan. Karena ingin menjadi tamu yang baik dan tidak ingin membuat pengundangnya gundah gulana, Kabayan pun menuruti perkataan tuan rumah. Maka, col lagi, col lagi ia mencocolkan nasinya pada gundukan sambal merah yang bukan main pedasnya, sementara sayur sama sekali tidak berani disentuhnya.

Peluh pun bercucuran membasahi dahi Kabayan dan mulutnya berdesis-desis menahan pedas yang rasanya menusuk-nusuk bibirnya.
“Ayo Mas Kabayan, ini sambalnya, yang ini jangan.”

Untuk kesekian puluh kalinya, Kabayan pun mencocolkan nasi di tangannya ke gumpalan sambal merah sambil berurai air mata. Celakanya lagi, air minum yang disediakan tuan rumah hanya satu gelas. Dan itu pun sudah tandas sejak beberapa waktu lalu. Untuk meminta tambah, Kabayan merasa malu. Maka ditahannya bibirnya yang rasanya sudah membengkak itu akibat terus-menerus mencecap sambal cabai rawit merah yang tak ketulungan pedasnya.

Beberapa saat kemudian acara makan-makan pun usai. Kabayan segera meminta diri pada sang tuan rumah sambil membungkuk-bungkuk karena kini perutnya terasa mulas. Sambil pontang-panting ia segera berlari menuju kali di belakang rumahnya untuk buang hajat.
“Sukurin!” kata Iteung yang masih jengkel karena tidak diajak suaminya untuk ikut makan.

----------

Baca info wisatajabar.com lainnya di GOOGLE NEWS