Ciwidey, A Moment of Solitude



Berwisata ke Ciwidey rasanya tidak pernah membosankan. Beberapa kali ke sana, selalu ada decak kagum melihat keindahan alamnya yang tak terperi. Ketika hari masih pagi, selubung kabut kadang masih enggan beranjak memayungi hamparan savana Ranca Upas, meruap pelan di permukaan Kawah Putih, bersembunyi di sela-sela rimbun pepohonan dan rumah-rumah yang tampak mungil di lereng-lereng bukit.

Bersamaan dengan sang surya yang beranjak naik di ujung horizon, rombongan wanita pemetik teh bercaping dan menggendong keranjang muncul menyusuri gurat-gurat jalan setapak sambil berceloteh akrab satu sama lain. Lenguhan rusa memanggil betinanya dalam jeda yang pendek kerap terdengar di penangkaran. Berkas-berkas cahaya matahari menerobos dari sela-sela dahan dan celah-celah dedaunan, menyapa tetes-tetes embun di ujung helai-helai pakis.      

Ada banyak kosakata yang dapat kita lontarkan dalam semenit atau putaran waktu selama enam puluh detik, tapi terkadang tak ada satu pun yang kuasa terucap begitu melihat lansekap hijau perkebunan teh yang terhampar melandai, pohon-pohon yang berdiri melambai dibuai angin yang malas, guratan jalan yang meniti dan menukik di antara bukit-bukit kecil hingga lenyap nun di belokan sana laksana selendang yang tersampir di bahu mojang Priangan.

Situ Patengan yang elok bagaikan cermin yang memantulkan kembali kemegahan langit, gerumbulan semak, dan sampan-sampan di tepinya. Seolah-olah kita sedang menatap Starry Night Over the Rhone, mahakarya Van Gogh yang ternama. Tak mengherankan kalau beberapa sineas dalam negeri sering mengambil setting Ciwidey dan sekitarnya untuk pengambilan gambar.

Ah...
Terkadang kita tidak perlu menerjemahkan keindahan alam anugerah Tuhan dengan kata-kata
Terkadang kebisuan justru lebih bermakna dari segerobak syair pemanis kata...

----------

Baca info wisatajabar.com lainnya di GOOGLE NEWS